Pemikiran Teologi Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Wednesday, April 13, 2016
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah adalah suatu golongan yang telah Rasulullah SAW janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan mengikuti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam masalah aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin. Ahlus Sunnah wal Jama'ah sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa mereka berpegang teguh pada Al-Qur-an dan. Dan Ahlus Sunnah disebut Salafush Shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka. Maka Ahlus Sunnah tidak termasuk dalam semua golongan ahli bid'ah dan orang-orang yang mengikuti keinginan nafsunya, seperti  Khawarij, Qadariyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Syiah dan lain-lainnya.

Dengan demikian, Sunnah adalah lawan kata bid'ah, sedangkan jama'ah lawan kata firqah (gologan). Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah SAW empat belas abad yang lalu.

Pemikiran tentang hal dosa
Pemikiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengenai dosa adalah orang yang meninggalkan kewajiban dan mengerjakan dosa yang sampai ia mati belum bertaubat, maka orang ini dihukum sama dengan orang mu’min yang mengerjakan maksiat. Orang ini apabila ia tidak diampuni Allah maka ia akan masuk neraka, tetapi tidak abadi. Ia akan lepas dari siksa neraka setelah selesai menjalani hukuman neraka, tetapi ia juga akan merasakan nikmat karena imannya. Menurut ahlussunnah bahwa apa yang diperintahkan Tuhan itu baik dan apa yang dilarangnya itu buruk. Menurut mereka tidak ada kebaikan dan tidak pula ada kejahatan yang mutlak, karena itu hak prerogratif-Nya.

Tentang Sifat – sifat Allah SWT
Pemikiran mengenai sifat-sifat Allah SWT menurut Ahlus Sunnah adalah bahwa Allah itu satu, unik, qadim dan wujud. Dia bukan substansi, bukan tubuh, bukan oksigen, tidak terbatasi oleh arah dan oleh ruang. Dia memiliki sifat-sifat seperti mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan lain-lain. Prinsip-prinsip bahwa Tuhan itu unik dan pada dasarnya berbeda dari sifat-sifat makhluk dan perbedaan tersebut mutlak. Berdasarkan doktrin ini, bila suatu sifat diaplikasikan kepada Tuhan, maka sifat tersebut harus dipahami secara unik dan jangan dipahami seperti kita memahaminya terhadap makhluk. Karena doktrin inilah, Asy’ariah berpendirian bahwa kita tidak boleh menyebutkan sifat Tuhan selain daripada yang termaktub secara jelas di dalam Al-Qur’an. Sifat-sifat Tuhan berbeda dengan sifat makhluk, bukan dalam tingkatan tetapi dalam jenisnya yakni dalam segenap hakikatnya.

Al-Baqillani berpendapat bahwa apa yang disebut sifat Allah bukanlah sifat dalam arti tekstual, tetapi mengandung makna hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim. Sedangkan menurut Abu Huzail menjelaskan bahwa sifat yang dimaksud adalah zat atau esensi Tuhan. Menurutnya arti “Tuhan Mengetahui” ialah Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Selain itu, Harun Nasution mengemukakan bahwa sifat-sifat Tuhan, kata Al-ghazali, berbeda dari esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Sedangkan Hamka sebagaimana dikutip oleh Yunan Yusuf dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan mencoba menghindari perdebatan tentang apakah sifat Tuhan itu ada dalam dzat atau berbeda di luar dzat Tuhan itu sendiri. Karena menurut Hamka, membahas sifat dan dzat manusia saja sangat sulit apalagi membahas sifat dan dzat Tuhan. Oleh sebab itu, ia lebih menitikberatkan kajiannya kepada manfaat praktis apa yang bisa ditarik dari pembicaraan Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Manfaat apa yang dapat diambil dari pendiskusian tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya semata-mata untuk mempertinggi kualitas iman seseorang, dan pada gilirannya akan mempertinggi pula kualitas dan kuantitas amal sholehnya.

Tentang Keadilan Allah SWT
Mengenai konsep keadilan Allah SWT. Zainuddin mengemukakan pendapat Asy’ariyah bahwa Allah SWT pencipta segala perbuatan hamba-Nya. Dia berkehendak atas terjadinya segala perbuatan makhluk-Nya baik maupun buruk. Apabila seorang hamba bermaksud akan berbuat sesuatu, maka Allah menentukan apa yang dikerjakan oleh hamba tersebut, oleh karena perbuatannya itu maka seorang hamba mempunyai kasab. Menurut Asy’ariyah, kasab itu ialah bersamaannya kemampuan dengan perbuatan. Jadi hamba hanya punya kasab, sedangkan perbuatannya sendiri diciptakan Allah SWT.

Allah menciptakan kemampuan dan kemauan yang keduanya berperan dalam berlangsungnya perbuatan, sehingga perbuatannya itu makhluk Allah. Jadi makhluk Allah itu ada yang tercipta tanpa perantara seperti batu, pohon-pohon dan sebagainya. Ada yang memakai perantara  yaitu segala makhluk yang dihasilkan kerja manusia. Karena manusia merupakan perantara maka dia bertanggung jawab dan mendapat balasan baik atau buruk. Dengan demikian, maka Allah itu bersifat adil, yaitu memberi pahala kepada seorang hamba sesuai dengan apa yang diusahakannya.

Tentang Janji dan Ancaman
Menurut Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan oleh Zainuddin, barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir atau melakukan dosa besar maka orang itu akan kekal dalam neraka, dan barangsiapa yang mati dalam keadaan beriman, dia pasti masuk surga untuk selama-lamanya. Kaum mu’tazilah tidak menyebut adanya kemungkinan pengampunan Allah dan syafaat di hari kiamat. Asy’ariyah tidak sepaham dengan mu’tazilah. Menurut Ahlus Sunah Asy’ariyah, tidak ada yang kekal dalam neraka, kecuali orang yang mati dalam keadaan kufur. Dan Allah berkuasa untuk mengampuni orang yang dikehendaki-Nya. Pengampunan itu masih ditambah dengan adanya syafa’at daripada Nabi dan para Rasul serta para sholihin di hari kiamat.

Lebih lanjut lagi, Zainuddin mengemukakan bahwa dasar pemikiran Asy’ariyah ialah bahwa Allah SWT itu pemilik mutlak atas semua makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang dia kehendaki dan menghakimi segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Andaikata Allah memasukkan makhluk-Nya ke dalam surga, hal itu bukanlah suatu ketidakadilan. Sebaliknya kalau Allah memasukkan semua makhluk-Nya ke dalam neraka, hal itu bukanlah suatu kedzaliman, sebab yang dinamakan dzalim itu ialah memperlakukan sesuatu yang bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan Allah adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak bisa digambarkan timbulnya kedzaliman daripada-Nya. Sebaliknya soal al-wa’d wa al-wa’id, al-maturidi sepaham dengan mu’tazilah. Menurutnya, janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak.

Tentang Melihat Dzat Allah di Akhirat
M.M. Sharif menyebutkan bahwa dalam hal melihat dzat Tuhan di akhirat ,Asy’ariyah berbeda dari paham Mu’tazilah dan para filosof dan sejalan dengan paham umat muslim ortodoks, yang menyatakan bahwa Allah itu dapat dilihat, tapi mereka tidak sepakat mengenai apakah Tuhan dapat ditunjukkan. Mereka menerima prinsip filsafat bahwa apa saja yang menempati ruang atau arah mestilah temporal, padahal Allah tidak temporal. Pengakuan ini mengakibatkan mereka dihantui kerumitan, sebab bila Tuhan tidak “meruang atau mewaktu” dan sesuatu yang dapat dilihat, maka Tuhan tidak dapat dilihat, namun konklusi ini bertentangan dengan paham mereka bahwa Tuhan dapat dilihat. Jadi untuk mengatasi kesulitan ini, mereka menyatakan bahwa suatu benda biarpun benda itu tidak ada di depan orang yang melihatnya, mungkin saja untuk dilihat. Ini alasan yang lemah dan ganjil sekali, sebab sangat bertentangan dengan segenap prinsip optika.

Disamping itu, Ahlus Sunah Maturidiah juga sependapat dengan kaum ortodoks, dan dia menegaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi mengenai hal ini harus dipahami secara harfiah. Dengan pola pikir skolastik dia mengemukakan bahwa kata dan makna ayat dan hadits yang menerangkan tentang hal ini, menunjukkan bahwa kita jangan memahaminya secara alegoris dan menafsirkan bahwa melihat Tuhan artinya “melihat tanda-tanda dan ganjaran-Nya atau mengetahui-Nya dengan hati”. Dengan demikian, Maturidi menegaskan bahwa melihat Tuhan di surga merupakan kenikmatan spiritual dan intelektual yang paling tinggi dan merupakan pahala termulia dari iman. Ini merupakan dasar aqidah yang dilandasi Al-qur’an dan sunnah serta ditopang oleh akal.

Tentang perbuatan Manusia
Menurut Zainuddin, kaum Ahlus Sunah Asy’ariyah mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan yang berpengaruh atas segala perbuatannya dengan izin Allah SWT. Manusia juga mempunyai pilihan ikhtiar, tapi manusia dipaksa atas pilihannya. Kemampuan manusia tidak berpengaruh secara asli atas amal perbuatannya, hanya seperti tangan yang lumpuh. Karena itu, maka manusia tidak bisa berbuat apa-apa jika tidak digariskan oleh izin dan kekuasaan Allah SWT. Dengan demikian, kaum asy'ariyah tidak mengakui adanya ikhtiar pada manusia, sesuai dengan firman Allah bahwa :"dia menciptakan apa saja yang dikehendaki termasuk yang diciptakannya dengan perantara perbuatan mereka".

Sedangkan Hamka berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Pilihan untuk menjadi kafir atau menjadi mukmin adalah berdasarkan pilihan bebas manusia itu sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan. Kebebasan berkehendak dan berbuat tersebut dimungkinkan dimiliki oleh manusia, karena kepada manusia diberikan potensi akal. Dengan akal inilah manusia menimbang mana yangbaik dan mana yang buruk, mana yang mendatangkan kemudaratan dan mana yang mendatangkan kemanfaatan.

KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam pemikiran islam adalah kaum Asy’ariah dan kamu Maturidi. Selain itu, golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah Rasulullah SAW, para sahabtnya dan para tabi'in.

Secara ringkas, Ahlussunnah Wal Jama’ah mempunyai paham mengenai kepercayaan hati, dibuktikan dalam bentuk perkataan dan amaliahnya. Perbuatan dosa besar dan sampai matinya belum bertaubat, maka diklaim sebagai mukmin yang melalukan maksiat. Hukumannya akan masuk neraka, tetapi mempunyai harapan besar masuk surga, walaupun sudah berabad-abad lamanya. Semua perbuatan Allah mengadakan / meniadakan sesuatu itu kita tidak mengetahuinya, dan yang mengetahui hanyalah Allah sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
- Nasution, Harun.(2002). Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
- Sharif, M.M.(2004). Aliran-Aliran Filsafat Islam. Nuansa Cendikia, Bandung.
- Zainuddin.(1992). Ilmu Tauhid Lengkap. Rineka Cipta, Jakarta.

Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © 2015 Simple SEO ✔

Ads